Yogyakarta – Kepala Dinas Dikpora Kota Yogyakarta, Budi Santosa Asrori bersyukur atas keberhasilan Kota Yogyakarta meraih Anugerah Merdeka Belajar (AMB) 2024. Penghargaan dari Kemdikbudristek ini diterima oleh Budi Santosa Asrori yang mewakili Pemerintah Kota Yogyakarta, pada Jumat (5/7/24) di Plenary Hall Jakarta Convention Center (JCC) Senayan Jakarta.
“Kota Yogyakarta menerima Anugerah Merdeka Belajar 2024 karena dinilai memiliki keunggulan dalam transformasi pengelolaan pendidikan,” ujar Budi Santosa. Anugerah Merdeka Belajar, menurut Budi merupakan apresiasi yang diberikan kepada pemerintah daerah yang berkomitmen dan membuat aksi nyata dalam melakukan peningkatan kualitas pendidikan.
“Penghargaan ini diraih karena kinerja terbaik semua elemen dalam mendorong transformasi pengelolaan pendidikan di Kota Yogyakarta,” tandasnya. Ditemui oleh Tim Pubkom BPMP DIY, Rabu (10/7/24), di Ruang Nitik Jayakusumo Kantor Dinas Dikpora Kota Yogyakarta, Budi Santosa menguraikan berbagai inovasi yang telah dilakukan jajarannya dalam pengelolaan pendidikan.
“Pengelolaan pendidikan di Yogyakarta diupayakan semakin sempurna,“ tandasnya. Pihaknya berupaya meningkatkan akses masyarakat dalam memperoleh layanan pendidikan, tentu saja dengan dibarengi peningkatan kualitas.
Pengelolaan akses layanan pendidikan di Yogyakarta, menurut Budi didukung dengan adanya 2 Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang mendukung afirmasi kebijakan untuk anak-anak yang memerlukan bantuan. “Afirmasi anak-anak yang kurang mampu di Kota Yogyakarta difasilitasi oleh UPT Jaminan Pendidikan Daerah,” ujarnya. Selain itu, Kota Yogyakarta memiliki UPT Unit Layanan Disabilitas (ULD) guna memberi akses luas kepada anak-anak berkebutuhan khusus dalam memperoleh layanan pendidikan.
“Pada tahun 2024 ini, Kota Yogyakarta memberikan akses bagi disabilitas masuk ke sekolah negeri,” tegasnya. Sementara itu bagi disabilitas yang tidak bisa masuk di sekolah negeri, menurut Budi Santosa diberikan jaminan pendidikan berupa bantuan untuk pembiayaan pendidikan.
Anggaran belanja pegawai, menurut Budi Santosa lebih kecil daripada anggaran operasional pendidikan. ”Postur anggaran ini cukup sehat, karena tidak terlalu banyak terbebani biaya-biaya tetap sehingga dapat dimanfaatkan lebih besar untuk pengembangan program pendidikan,” ujarnya.
Rata-rata lama sekolah di Kota Yogyakarta 12,11 tahun, menurut Budi Santosa jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional yang hanya 8,31 tahun. Sedangkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Yogyakarta 88,6 tertinggi dibanding kota dan kabupaten lain di Indonesia.
“Semua ini dicapai melalui sinergi yang baik dari semua elemen pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan,” katanya. Sebagai contoh di Yogyakarta ada gerakan jam belajar masyarakat, menurut Budi hal ini salah satu bentuk pengelolaan lingkungan yang mendukung pendidikan.
“Jam belajar masyarakat bertujuan untuk mendorong masyarakat lebih peduli kepada pengelolaan pendidikan anak-anak di dalam lingkup keluarga dan lingkungan sekitarnya,” tegasnya. Budi bersyukur pemenuhan akses pendidikan sebagai bagian dari pengelolaan pendidikan di Yogyakarta sudah dapat dicapai.
“Maka kita sekarang fokus ke peningkatan kualitas, dari hulu sampai hilir harus ditingkatkan, yang utama melalui peningkatan kompetensi guru,” ujarnya. Fasilitasi diberikan Pemkot Yogyakarta baik dalam bentuk pelatihan maupun dukungan bagi kegiatan forum komunitas belajar guru, Kelompok Kerja Guru, Musyawarah Guru Mata Pelajaran, Kelompok Kerja Kepala Sekolah, Musyawarah Kerja Kepala Sekolah.
Penguatan anggaran di sekolah melalui BOSDA, menurut Budi Santosa murni untuk peningkatan kualitas. “Biaya-biaya untuk membayar guru non PNS, di Kota Yogyakarta lewat APBD, tidak dengan BOSDA, sehingga BOSDA ini murni untuk peningkatan kualitas,” jelasnya.
Dana BOSDA murni untuk operasional, untuk SMP senilai Rp. 1.750.000 per anak setiap tahun, sedangkan SD senilai Rp. 1.250.000 per anak setiap tahun. Dengan demikian, menurut Budi satuan pendidikan memiliki otonomi untuk pengembangan kualitas.
Melalui UPT Jamian Pendidikan Daerah, pihaknya memfasilitasi disabilitas yang tidak diterima di sekolah negeri dengan bantuan sebesar Rp 4 juta. “Yang Rp 1 juta sebagai biaya personal untuk membeli keperluan sekolah misalnya seragam dan sepatu,“ jelasnya.
Sedangkan yang senilai Rp. 3 juta diberikan melalui satuan pendidikan. Agar tepat sarasan, pihaknya menggunakan Kartu Jogja Berprestasi. “Bentuknya seperti ATM, kalau untuk membayar sekolah tinggal digesek di BPD DIY, maka dananya langsung masuk ke rekening sekolah,“ ujarnya.
Untuk membeli keperluan siswa misalnya seragam, bisa melalui merchant yang ditunjuk oleh bank. Dengan demikian menurut Budi ada pengendalian, dana pasti digunakan untuk membeli sepatu, seragam, dan barang kebutuhan sekolah.
Pada akhir tahun ajaran, apabila masih ada sisa dana bisa masuk ke tabungan anak. “Dengan tata kelola ini akan menyelesaikan masalah pembiayaan pendidikan, dana tidak akan digunakan di luar kaperluan sekolah,“ pungkasnya.